This is me!

Hello all, welcome to my personal blog. Enjoy my blog and don't forget to give my articles responses both negative and positive.

My Business!

It's all about my business, first time i learn and i do the business, profit and loss've ever tasted in business. This is some story about my business! Check this out!

Future Car

This is my future car! hehe, insha Alloh

Laman

Tampilkan postingan dengan label PKN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PKN. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Mei 2015

Murka Diplomatik atas Hukuman Mati: Lain Australia Lain Pula Brazil

HL | 24 February 2015 | 16:38

1424784931532707609
Presiden Brasil Dilma Rousseff (BBC)
Lain Australia lain pula Brazil, demikian pepatah yang pas untuk menceritakan reaksi kedua negara ini terhadap hukuman mati warganya. Bila Australia tanpa sengaja cenderung mempermalukan dirinya, maka Brazil mencoba mempermalukan Dubes RI. Namun kedua reaksi ini sama-sam kontra produktif, karena bukanya Indonesia menjadi ragu, malah membuat Presiden semakin tegas, dan mendorong publik Indonesia semakin retorik. Jika tujuan kedua negara ini adalah murni dalam rangka perlindungan warga negaranya, maka hasil akhir justru membebani warganya sendiri.
Kedua negara sama-sama berjuang dengan menggunakan instrumen perlindungan diplomatik (diplomatic protection). Artinya, Kedua negara bertindak atas nama warganya berhadapan dengan Indonesia di jalur diplomatik. Keduanya mempersoalkan kebijakan hukuman mati untuk warganya. Ingat, hanya untuk warganya, bukan untuk warga lainnya. Maknanya adalah, kedua negara mencoba melindungi warganya dan bukan mempersoalkan bahwa hukuman mati itu melanggar hukum internasional, dan bukan menggugat peradilan Indonesia. Praktik ini lazim dan sah sah saja menurut hukum internasional.
Namun ada yang beda antara kedua negara ini. Australia menggunakan semua cara dan mekanisme yang tersedia dalam hukum diplomatik, tapi Brazil justru melanggar hukum diplomatik itu sendiri. Menlu RI tegas menilai bahwa tindakan Brazil telah melanggar Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik.
Kedua negara memang marah. Namun dapatkah kemarahannya dituangkan dalam bentuk pelanggaran hukum internasional? Australia masih mendingan, karena kemarahannya diwujudkan dengan koaran kata-kata saja. Membisingkan memang, tapi so far belum ada norma hukum yang dilanggar. Ibarat orang yang emosi, Australia tidak dan belum menyentuh “fisik” Indonesia. Karenyanya, tidak ada alasan Indonesia melakukan pembalasan “fisik”. Dan juga, belum ada tindakannya yang bisa menghalangi Indonesia untuk melaksanakan kedaulatannya.
Reaksi Brazil agak anomali. Dari sisi hukum diplomatik sangat serius. Mari kita runut kronologinya: Duta Besar RI dijadwalkan dan diundang oleh protokol negara untuk penyerahan kredensial kepada Presiden. Ini adalah upacara akbar diplomatik yang persiapannya pasti lama dan matang. Akbar karena di upacara inilah terjadi simbolisasi bagaimana dua negara bersahabat “bersalaman dan berpelukan”. Setibanya di istana dan menjelang prosesi dimulai tiba-tiba Presiden Rousseff “tiba-tiba” menolaknya. Alasannya, menunggu hubungan kedua negara lebih baik.
Bagaimana mungkin acara akbar yang seperti mantenan ini bisa tiba-tiba dibatalkan dengan dalih nunggu hubungan negara lebih baik? Tidak ada hukum diplomatik yang melarang Presiden menolak kredensial Duta Besar, sekalipun alasannya karena tidak suka sama Duta Besar. Tapi menolak Duta Besar RI setelah diundang resmi itu ibarat kita diundang ke pesta namun begitu masuk pintu kita tiba-tiba diusir. Bukan penolakannya yang jadi masalah, melainkan niat jeleknya (bad faith). Acara se sakral ini tidak mungkin tidak ada persiapan matang. Pasti semua hal sudah diantisipasi jauh-jauh hari. Kemarahan Brazil bukan mulai saat pesta, tapi sudah jauh sebelumnya. Artinya, sulit menyangkal bahwa Brazil dengan sengaja, dan dengan perencanaan yang matang ingin mempermalukan Duta Besar RI.
Mari kita tilik Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik. Indonesia dan Brazil terikat pada Konvensi ini. Pasal 29 Konvensi yang dirujuk oleh Menlu RI menyatakan bahwa setiap negara penerima (dalam hal ini Brazil) harus memperlakukan setiap Duta Besar secara terhormat dan mencegah adanya serangan terhadap kehormatannya. Maksud pasal ini adalah, negara harus memastikan bahwa tidak ada pihak lain dibawah jurisdiksi Brazil, misalnya individu, LSM, demonstran, pelaku tindak pidana, yang menyerang kehormatan Duta Besar. Ironisnya, dan ini yang jadi anomali, penyerang kehormatan Duta Besar ini justru dilakukan oleh negara bukan individu. Bukannya malah melindungi tetapi justru jadi pelaku. Pagar makan tanaman kata penyanyi Dangdut Mansyur. Membiarkan pihak lain mencemarkan Duta Besar saja sudah pelanggaran oleh negara itu, apalagi jika pelakunya justru negara.
Mengapa Duta Besar harus dijaga dignitinya? Sederhana saja. Duta Besar adalah institusi dan simbol negara. Wajah negara melekat pada sosok Duta Besar. Sejak dulu, Duta Besar itu sosok yang sakral di mata hukum setempat, makanya dia diberi kekebalan dan keistimewaan. Duta Besar membunuh sekali pun, tidak dapat diproses hukum di negara itu. Karena Duta Besar identik dengan negara. Makanya lahir norma hukum diplomatik supaya jangan ada yang coba-coba menyerang kehormatan Duta Besar. Konon, banyak negara yang semakin mendesak agar pasal 29 Konvensi ini diperluas lingkupnya. Jadi, mencoret-coret foto Duta Besar pun sudah dianggap pencemaran terhadap kehormatannya. Ironisnya lagi, Brazil justru sedang merusak tatanan norma ini.
Namun demikian pelanggaran hukum internasional oleh Brazil ini bisa saja menjadi halal jika perbuatan ini dimaksudkan sebagai tindakan balasan terhadap pelanggaran hukum oleh Indonesia. Ini disebut dengan counter-measure/reprisal. Disini uniknya hukum internasional. Karena tidak ada polisi dunia maka tidak ada tempat mengadu, akhirnya negara harus menjaga dirinya sendiri (self help).
Tapi apakah Indonensia dengan mengeksekusi WN Brazil adalah pelanggaran hukum internasional? Mari kita bedah kasus ini. 
Pertama, penerapan hukuman mati itu sendiri ternyata masih direstui oleh ICCPR. Menurut Konvensi ini negara pihak tidak diwajibkan menghapus secara total hukuman mati melainkan diwajibkan untuk membatasi penerapan hukum mati khususnya menghapus hukuman mati untuk perbuatan yang bukan “most serious crime” (Para 6 HRC General Comments of Art. 6: that States parties are not obliged to abolish the death penalty totally they are obliged to limit its use and, in particular, to abolish it for other than the “most serious crimes”). Indonesia sedang darurat Narkoba dan tidak ada yang membantah bahwa kelangsungan generasi sedang terancam.
Kedua, ICCPR melarang eksekusi hukuman mati yang bersifat extra judical, yaitu tanpa proses peradilan. Sedangkan kasus ini, terpidana mati telah menjalani semua rangkaian proses hukum dari tingkat awal sampai tingkat final dan mengikat. Semua proses ini dilakukan di depan pengadilan. Bahkan diberi kesempatan minta Grasi. Artinya, semua rangkaian upaya hukum sudah diberikan termasuk akses seluas-luasnya bagi Kedutaan Besarnya terhadap perkara warganya.
Jadi tidak ada sehelai norma pun yang dilanggar oleh Indonesia. Karenanya perbuatan, perbuatan Brazil yang melanggar Konvensi Wina menjadi tidak sah. Dalam hukum internasional, justru Indonesia diberi hak untuk melakukan counter-measur terhadap Brazil atas pelanggaran ini. Bentuknya banyak, termasuk pembatalan transaksi dagang, embargo, resiprositas, serta tindakan balasan lain. Dan ini tidak melanggar hukum internasional.
Reaksi Indonesia ternyata sangat tegas. Dalam hitungan jam sejak kejadian perkara, Menlu RI langsung menarik Dubes RI ke Jakarta. Pada malam itu juga, Kemlu memanggil Duta Besar Brazil di Jakarta dan menyampaikan protes keras atas perlakuan Presiden Brazil. Ini bukan tindakan diplomatik biasa. Dulu Brazil dan Belanda juga menarik Dubesnya, namun tidak disertai dengan ‘kemarahan diplomatik, dan selang beberapa lama dikembalikan lagi ke Jakarta. Kemurkaan diplomatik dalam hal ini sudah sangat tinggi dan pasti diluar perhitungan Brazil. Terus apa hasil akhir dari permainan diplomatik Brazil ini? Hasilnya ternyata semakin mengeraskan Indonesia untuk lanjut dengan eksekusi berikutnya, dan salah satunya adalah Warga Brazil.


Sumber : http://hukum.kompasiana.com/2015/02/24/murka-diplomatik-atas-hukuman-mati-lain-australia-lain-pula-brazil-708594.html





Analisa :
Hubungan diplomatik merupakan hubungan yang terjadi antara negara satu dan negara lainnya dalam berbagai hal baik itu berupa perdagangan, investasi, budaya, perjanjian wilayah, dan lain-lain yang semuanya sudah diatur dalam Konvensi Wina tahun 1961.
Kedaulatan hukum suatu negara harus diakui dan tidak boleh diganggu gugat oleh negara lain dalam kasus ini yaitu mengenai hukuman mati yang ditetapkan oleh pemerintah kepada terpidana kasus narkotika yang salah satu diantaranya adalah warga negara Brazil dan Australia.
Dalam pelaksanaan eksekusi hukuman mati terhadap seorang terpidana mati warga Brazil dan Australia, telah dilakukan beberapa proses hukum diantaranya PK, grasi sampai banding telah dilakukan oleh kuasa hukum mereka untuk meringankan hukuman yang akan diterima. Jadi tidak serta merta pemerintah langsung bisa mengeksekusi terpidana-terpidana tersebut.
Menurut artikel diatas, Australia dinilai masih melakukan tindakan protes yang wajar dan sah menurut hukum diplomatik internasional yaitu hanya dengan menyuarakan kekecewaan dan melakukan aksi demonstrasi di kedutaan RI di Australia. Sementara itu Brazil menanggapi kekecewaan itu dengan cara yang berlebihan sampai-sampai mengurungkan surat pernyataan kepercayaan terhadap dubes RI di Brazil yang menurut saya kejadian itu merupakan kejadian yang memalukan yang dilakukan oleh sebuah negara terhadap perwakilan negara lain. Harusnya Brazil dapat menyuarakan protesnya kepada Indonesia dengan lebih bijak dan sopan sehingga tidak akan menyebabkan hubungan diplomatiknya menjadi terganggu. Perbuatan itu menurut saya telah mencoreng wajah Brazil sendiri di dunia internasional dengan tindakan yang memalukan negaranya sendiri.


Kesimpulan :
Dari artikel diatas saya sangat setuju dengan apa yang telah dilakukan Kementerian Luar Negeri atas tindakan memalukan yang telah dilakukan oleh Presiden Brazil menunda surat kepercayaan atas Dubes RI yang sebelumnya telah dijadwalkan, seperti yang kita ketahui setelah terjadi kejadian memalukan tersebut Kementerian Luar Negeri langsung memanggil pulang Dubes RI untuk Brazil dan meminta penjelasan Dubes Brazil di Indonesia mengenai kejadian tersebut.
Harusnya menurut saya pemerintah bisa bersikap lebih tegas jika pemerintahan Brazil tidak segera meminta maaf atas kejadian tersebut yaitu bisa dengan mengembargo produk Brazil dan menghentikan sementara kerjasama bilateral.
Dalam hubungan diplomatik protes merupakan hal wajar yang dilakukan oleh negara yang berusaha untuk melindungi warganya, akan tetapi adab serta peraturan yang telah disepakati bersama pada Konvensi Wina harusnya bisa dipegangteguh dan dijalankan sesuai peraturan yang berlaku tidak seenaknya sendiri apalagi ini menyangkut harkat dan martabat bangsa di dunia internasional.

Kamis, 02 April 2015

LPSK: Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Masih Menjadi PR

LPSK: Pemenuhan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat Masih Menjadi PR - 1

Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengaku perlindungan dan pemenuhan hak korban kejahatan, khususnya kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus segera diselesaikan. Sehingga, LPSK berupaya menggandeng pemerintah daerah agar pemberian perlindungan dan pemenuhan hak korban HAM berat lebih maksimal.

Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai mengatakan memiliki pekerjaan rumah dalam penyelesaian perlindungan terhadap korban pelanggaran HAM berat yang tidak memiliki ruang yang memadai dalam proses penegakan hukum. Namun, LPSK mengupayakan pemenuhan hak dan pemberian bantuan bagi korban kejahatan dengan mengacu pada UU nomor 13 tahun 2006 jo UU nomor 31 tahun 2014.

Semendawai menilai untuk korban pelanggaran HAM, akan diberikan bantuan medis psikologis dan psikososial berdasarkan rekomendasi dari Komnas HAM. Hal serupa juga akan diberikan terhadap korban tindak pidana yang berpotensi sebagai saksi serta akan memberikan keterangan. 

"Selain itu pada Pasal 7 juga diatur tentang restitusi dan kompensasi. Korban melalui LPSK, dalam hal ini berhak mendapatkan kompensasi dalam kasus pelanggaran HAM berat. Sedangkan hak atas restitusi atau ganti kerugian menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi ini," ujar Semendawai.

Hal tersebut disampaikan pada Focus Group Discussion (FGD) yang membahas tentang inisiatif daerah untuk pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM berat di ruang pertemuan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Provinsi Jawa Tengah, Rabu (1/4/2015) seperti tertulis dalam keterangan yang diterima.

Semendawai menjelaskan, pada awal tahun 2015 ini LPSK telah merilis sejumlah total 1.074 permohonan perlindungan yang masuk pada tahun 2014. Sebanyak 981 permohonan telah dibahas dalam rapat Paripurna LPSK, dan hasilnya sebanyak 685 permohonan diterima dan sisanya ditolak. "Provinsi Jawa Tengah dan Sumatera Barat menjadi asal pemohon yang paling mendominasi," ujar Semendawai.

Adapun, pelanggaran HAM menjadi yang terbanyak dengan 644 laporan, kemudian trafficking 144 laporan, korupsi 43 laporan, kekerasan dalam rumah tangga 3 laporan, tindak pidana pencucian uang 1 laporan dan pidana umum 210 laporan, yang terdiri dari kasus individu, pemerkosaan, kekerasan kolektif dan aparat.

Kemudian, Kasubag HAM pada Biro Hukum Setda Provinsi Jateng YS Endang Sabarsih lebih menyoroti jaminan perlindungan saksi dan korban dari kacamata pemerintah daerah (pemda). Selain mengacu pada UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU Nomor 13 tahun 2006 jo UU Nomor 31 tahun 2014, serta Perpres nomor 23 tahun 2011 tentang rencana aksi nasional HAM (Ranham), juga telah menyiapkan payung hukum berupa Keputusan gubernur Jateng Nomor 180/27 tahun 2013 tentang pembentukan penitia Ranham provinsi Jawa Tengah.

Dengan adanya LPSK, Endang menilai dalam penerapannya dan pelaksanaannya untuk perlindungan saksi dan korban khususnya di wilayah Jateng perlu koordinasi intensif. Yakni antara Kemenkum HAM, Pemprov Jateng, LPSK, pihak kepolisian dan masyarakat. "Diharap penanganan dan perlindungan terhadap saksi dan korban bisa lebih maksimal," ujar Endang. (Taufan Noor Ismailian - detikNews)

Sumber : http://news.detik.com/read/2015/04/02/005935/2876426/10/2/lpsk-pemenuhan-hak-korban-pelanggaran-ham-berat-masih-menjadi-pr



Analisa


LPSK merupakan lembaga pemerintah yang memiliki fungsi untuk melindungi saksi dan korban pada suatu kasus hukum yang ada di Indonesia. LPSK memiliki tanggung jawab atas keselamatan korban dan juga saksi dari ancaman pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum. Pelanggaran-pelanggaran hukum yang ada di Indonesia seperti yang kita ketahui ada berbagai macam bentuk mulai dari kasus pelanggaran ringan seperti pencemaran nama baik sampai kasus pelanggaran hukum berat seperti pembunuhan. Perlindungan yang diberikan oleh LPSK tidak bisa menyeluruh, banyaknya kasus pelanggaran hukum yang terjadi menjadi salah satu alasannya. Seperti contohnya kasus pelangggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia. HAM menjadi kasus pelanggaran hukum terbanyak di Indonesia seperti yang telah dipaparkan pada artikel tersebut. Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Seperti yang telah dipaparkan Semendawi, korban dan juga saksi dalam kasus pelanggaran HAM berat akan mendapatkan restitusi dan kompensasi seperti yang telah diatur dalam Pasal 7. Restitusi adalah adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Sedangkan kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam penerapannya dan pelaksanaannya untuk perlindungan saksi dan korban perlu koordinasi intensif. Yakni antara Kemenkum HAM, Pemprov Daerah, LPSK, pihak kepolisian dan masyarakat agar pemenuhan hak korban dan saksi bisa diberikan secara maksimal.


Kesimpulan
HAM menjadi pelanggaran hukum terbanyak yang terjadi di Indonesia. Dalam pemenuhan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh saksi dan korban, belum sepenuhnya bisa diberikan oleh LPSK terutama kepada kasus pelangggaran HAM berat. Salah satu kelemahan LPSK dalam memberikan perlindungan yaitu terlalu banyak pelanggaran yang terjadi. Selain itu LPSK juga tidak bisa mengabulkan semua permintaan perlindungan yang masuk sehingga dalam hal ini LPSK terkesan selektif dan akan mengakibatkan pemenuhan hak korban dan saksi menjadi kurang bisa terpenuhi semuannya.

Rabu, 20 Maret 2013

AHMADIYAH, PELANGGARAN HAM DAN PENODAAN AGAMA


MEMAHAMI HAK ASASI MANUSIA




Agama adalah salah satu unsur yang tidak dapat kita pisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ada beberapa ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia, menurut data dari Departemen Agama RI pada tahun 2009 persentasenya adalah Islam 87,39%, Kristen 6,34%, Katolik 3,36%, Hindu 1,81%, Buddha 0,93%, Khonghucu 0,11%, Lainnya 0,06%. (Kemenag2009).

Dari data tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia memeluk agama Islam.
Pada tahun 674 M, Dinasti Umayyahdari Arab Saudi mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak saat itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah. Aceh adalah daerah yang pertama kali menerima agama Islam.

Dan kerajaan Islam Indonesia yang pertama kali adalah kerajaan Samudra Pasai yang berada di daerah Aceh. Islam berkembang pesat pada masa ini, namun hanya sebatas daerah Aceh dan sekitarnya belum mencakup seluruh negara Indonesia.

Bukti dari berkembangnya ajaran agama Islam di Indonesia salah satunya terdapat di Gresik, Jawa Timur. Disana telah ditemukan beberapa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H/1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari.

Seiring berjalannya waktu muncul banyak kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, dari sinilah awal penyebaran agama Islam di Indonesia mulai meluas, mencakup daerah-daerah seluruh Indonesia. Setelah islam semakin hari semakin berkembang mulailah muncul banyak tokoh-tokoh Islam seperti Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di seluruh plosok Pulau Jawa, Pangeran Diponegoro, Sultan Hassanudin, K.H. Agus Salim, dan lain-lain.

Peranan penting tokoh-tokoh Islam bukan hanya sebagai penyebar agama Islam tapi mereka juga sangat berpengaruh dalam usaha perebutan kemerdekaan Indonesia dari para penjajah.

Kini Islam di Indonesia berkembang pesat, tapi pesatnya perkembangan tersebut menyebabkan beberapa hal negatif, diantaranya muncul paham-paham baru yang mengatasnamakan organisasi Islam tapi tidak sesuai dengan syariat Islam, seperti Ahmadiyah.

Ahmadiyah adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889, di kota Qadian di negara bagian Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi.

Para pengikut Ahmadiyah, yang disebut sebagai Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi menjadi dua yaitu Ahmadiyah Qadian. Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Kelompok kedua Ahmadiyah Lahore. Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia. (Wikipedia, 2011)

Dari dua kelompok Ahmadiyah tersebut. Keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip.

Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru. Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan sebagai mujaddid dari ajaran Islam.

Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Indonesia pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Fauzi Bowo, 2007. Pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM). (bangfauzi.com, 2007)

Dari definisi yang dipaparkan diatas, kita dapat mengetahui bahwa semua manusia mempunyai hak dasar yang disebut Hak Asasi Manusia (HAM) dan kita sebagai makhluk sosial harus menghormati, menjunjung, dan melindunginya. Tapi apa yang terjadi dengan Ahmadiyah, apakah kita patut menghormati, menjunjung dan melindungi organisasi yang “sesat” ini?

Sebenarnya Ahmadiyah boleh saja mengembangkan organisasinya di Indonesia asalkan mereka tidak membawa embel-embel sebagai bagian dari organisasi Islam atau dengan kata lain mereka harus mendirikan agama sendiri. Kita sebagai bangsa yang beradab harus menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) asalkan hak-hak tersebut tidak menyalahi aturan dari sesuatu yang telah ditetapkan sebelumnya, dalam hal ini konteks agama Islam.

Sudah sangat jelas bahwa Islam mengajarkan, nabi dan rasul terakhir di dunia ini adalah Nabi Muhammad SAW. Jadi kalau seseorang atau suatu golongan menganggap bahwa ada nabi dan rasul selain Nabi Muhammad SAW. maka mereka sendiri sudah menyalahi HAM dan peraturan yang berlaku dalam ajaran agama Islam. Bagaimana seseorang bisa mendapatkan hak-haknya bila dia sendiri menyalahi aturan yang berlaku.

Pengetahuan tentang HAM sangat dibutuhkan terutama untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan sensitif seperti masalah Ahmadiyah ini. Seharusnya organisasi Ahmadiyah sesegera mungkin melakukan introspeksi tentang ajaran yang dianutnya sehingga masalah ini tidak berbelit-belit dan tidak menimbulkan korban lagi. Seperti yang kita ketahui, polemik tentang Ahmadiyah ini sudah memakan banyak korban dari berbagai pihak, banyak organisasi-organisasi Islam yang menentang ajaran Ahmadiyah dan melakukan hal yang sudah menyalahi HAM seperti melakukan perusakan, pembakaran, dan penyerangan.

Merusak, membakar, dan menyerang bukanlah solusi untuk memecahkan masalah Ahmadiyah ini, apalagi kita adalah bangsa yang satu dan dikenal masyarakat luar negeri sebagai bangsa yang damai. Dalam hal ini pemerintah terlalu lama untuk bertindak, saya rasa pemerintah cuma bisa memberikan warning dan peringatan saja tanpa bisa melakukan tindakan yang pasti untuk mengakhiri polemik ini.

Jalan keluar untuk menghindari perpecahan ini ada dua, yaitu Ahmadiyah bubar atau Ahmadiyah mendirikan agama baru. Mungkin bukan hanya saya yang setuju dengan solusi tersebut. Salah satu alasan yang memicu munculnya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh ormas Islam lain terhadap Ahmadiyah mungkin mereka menuntut hal yang sama, yakni bubarkan Ahmadiyah.

Entah kepentingan apa yang ada dalam organisasi Ahmadiyah sehingga pemerintah sepertinya tidak mau bekerja keras dan bersungguh-sungguh untuk memberantas aliran sesat ini padahal banyak aliran-aliran sesat lain yang telah diberantas dan dilarang oleh pemerintah untuk bersyiar di Indonesia.





Referensi:
1.      Kementrian Agama RI (2009). Data Keagamaan Tahun 2009. [online]. Available from: http://kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id2=data2009rev. [Accessed: 19 Oktober 2011 08:21 WIB.]

2.      Mencari Jalan Kebenaran Hakiki (2007). Sejarah Islam Di Indonesia. [online]. Available from: http://syafii.wordpress.com/2007/05/11/sejarah-islam-di-indonesia. [Accessed: 19 Oktober 2011 08:37 WIB.]

3.      Wikipedia (2011). Ahmadiyyah. [online]. Available from: http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmadiyyah.[Accessed: 19 Oktober 2011 09:18 WIB.]

4.       Tribunnews.com (2011). Alasan MUI Nyatakan Ahmadiyah Sesat. [Online]. Available from: http://www.tribunnews.com/2011/02/18/inilah-alasan-mui-nyatakan-ahmadiyah-sesat. [Accessed: 19 Oktober 2011 09.58 WIB.]

5.       bangfauzi.com (2007). Pengertian-pengertian Hak Asasi Manusia. [online]. Available from: http://www.fauzibowo.com/dipo63.php?id=31&mode=view&page=4. [Accessed: 19 Oktober 2011 10:02 WIB.]

Jumat, 15 Februari 2013

IDENTITAS NASIONAL DAN NASIONALISME PARA PEMAIN NATURALISASI SEPAK BOLA TIM NASIONAL INDONESIA


IDENTITAS NASIONAL






Sepak bola, adalah olahraga terpopuler di seluruh penjuru dunia. Permainan ini digemari dari golongan anak-anak sampai yang tua sekalipun. Bahkan akhir-akhir ini semakin banyak wanita yang menggemari permainan sepak bola.

Banyak sumber yang menyebutkan tentang asal mula sepak bola. Di Asia, China mengklaim bahwa olahraga sepak bola dimulai sejak abad ke-2 sampai ke-3 SM. Di masa Dinasti Han tersebut, masyarakat menggiring bola kulit dengan menendangnya ke jaring kecil. Permainan serupa juga dimainkan di Jepang dengan sebutan Kemari.

Menurut versi eropa sepak bola mulai dikembangkan di Italia, permainan menendang dan membawa bola digemari mulai abad ke-16. Sepak bola modern mulai berkembang di Inggris dan sangat digemari. Di beberapa kompetisi yang diadakan, permainan ini menimbulkan banyak kekerasan selama pertandingan sehingga Raja Edward III melarang olahraga ini dimainkan tahun 1365. Kelahiran sepak bola modern terjadi di Freemasons Tavern pada tahun 1863 ketika 11 sekolah dan klub berkumpul dan merumuskan aturan baku untuk permainan tersebut. Pada tahun 1869, membawa bola dengan tangan mulai dilarang dalam sepak bola. Selama tahun 1800-an, olahraga tersebut dibawa oleh pelaut, pedagang, dan tentara Inggris ke berbagai belahan dunia. Pada tahun 1904, asosiasi tertinggi sepak bola dunia (FIFA) dibentuk dan pada awal tahun 1900-an berbagai kompetisi dimainkan di berbagai negara. (Wikipedia, 2011)

Masa keemasan sepak bola Indonesia sendiri terjadi pada tahun 1938, saat itu bangsa indonesia mengukir sejarah yaitu dengan mengikuti piala dunia 1938. bukan Jepang, Korea Selatan, Arab Saudi, atau negara-negara besar lain di Asia yang pertama ikut Piala Dunia, tetapi Indonesia (yang pada tahun itu masih bernama Hindia Belanda). Pemain-pemain yang membela Hindia Belanda mereka adalah Sutan Anwar, Tan Djien, Frans Meeng, Jack Sanniels, A Nawir, Tan Mo Heng, Henks Sommers, Suvarte Soedermadji, Tjaak Pattiwael, Frans Hu Kom dan Hans Taihuttu. (Idebagusku, 2010)

Gagalnya Indonesia mencapai prestasi di bidang sepak bola membuat rakyat Indonesia yang mayoritas penggila bola kecewa terhadap PSSI (Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia) sebagai pemimpin tertinggi asosiasi sepak bola di Indonesia. Padahal dengan fanatisme yang ditunjukkan oleh rakyat Indonesia beberapa tahun ini, membuat persatuan dan kesatuan semakin terjalin antar suporter. Mereka rela antri berjam-jam demi mendapatkan sebuah tiket pertandingan tim nasional.

Untuk mencapai prestasi dengan cara “instan”, salah satu solusi yang dilakukan oleh PSSI dan Badan Tim Nasional Indonesia (BTN) adalah dengan melakukan naturalisasi pemain, yaitu perekrutan pemain sepak bola asing untuk menjadi pemain tim nasional Indonesia, tentu persyaratannya adalah harus menjadi warga negara Indonesia terlebih dahulu. Berikut ini beberapa pemain naturalisasi yang sudah resmi menjadi WNI: C. Goncalez (Uruguay), Irfan Bachdim (Indonesia-Belanda), Kim Kurniawan (Indonesia-Jerman), Ruben Wuarbanaran (Indonesia-Belanda), Diego Michel (Indonesia-Belanda), van Beukering (Indonesia-Belanda), Stefano Lilipaly (Indonesia-Belanda), Tonnie Cuessel (Indonesia-Belanda), Mark van de Mareel (Indonesia-Belanda), Oliver Rifai (Indonesia-Belanda), James Zaidan Saragih (USA), Greg Nwokolo (Nigeria), Victor Igbonefo (Nigeria). (VIVAnews, 2011)








Dari para pemain naturalisasi tersebut, rata-rata mereka memiliki darah orang Indonesia kecuali yang berasal dari Uruguay dan Nigeria, mereka semua lahir dan dibesarkan di negara asalnya masing-masing sehingga kurang lancar dalam berbahasa Indonesia dan kurang tahu sejarah Indonesia.
Sekarang pertanyaannya, apakah mereka benar-benar mencintai Indonesia? Apakah mereka rela berkorban demi bangsa? Apakah mereka punya semangat nasionalisme? Dan apakah mereka tahu dan memahami identitas nasional negara kita?

Huzaifah dalam blognya berpendapat bahwa identitas nasional secara terminologis adalah suatu ciri yang dimiliki oleh suatu bangsa yang secara filosofis membedakan bangsa tersebut dengan bangsa yang lain sehingga setiap bangsa di dunia ini memiliki identitas sendiri-sendiri sesuai dengan keunikan, sifat, ciri-ciri serta karakter dari bangsa tersebut. (zaifbio.wordpress.com, 2010)

Sedangkan menurut Yasni, indentitas nasional atau identitas bangsa merupakan tindakan kelompok yang diwujudkan dalam bentuk organisasi atau pergerakan yang diberi atribut nasional. (Yasni, 2010: 29)
Dari dua pengertian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa identitas nasional suatu bangsa itu berasal dari kelompok-kelompok yang memiliki kesamaan, baik fisik maupun non fisik dan diwujudkan dalam bentuk organisasi dengan tujuan yang sama.

Sudah sangat jelas pengertian tersebut, bahwa mereka semua memiliki latar belakang dan motivasi yang berbeda untuk tim nasional Indonesia. Selayaknya mereka tahu, bagaimana para pahlawan kita berjuang demi kemerdekaan bangsa ini dan semangat pantang menyerah yang dilakukan oleh para pejuang kita sampai titik darah penghabisan patut untuk ditiru dalam kehidupan kita sehari-hari. Dan bagi para pemain sepak bola tim nasional Indonesia, anggap saja tim nasional Indonesia dijajah oleh lawan, sehingga bisa menambah semangat nasionalisme dan menambah motivasi dalam bermain sepak bola demi harkat dan martabat bangsa.

Jangan sampai kebijakan naturalisasi pemain ini malah menjadi bomerang bagi persepakbolaan Indonesia sehingga malah menjadikan atmosfir sepak bola di negara kita menurun karena perbedaan kultur antara pemain naturalisasi dan pemain lokal Indonesia. Kita sebagai rakyat Indonesia seharusnya jangan berharap terlalu besar kepada para pemain naturaliasi, karena memang pada hakekatnya identitas nasional kita tidak sama dengan identitas nasional mereka sehingga mempengaruhi semangat dan motivasi mereka dalam bertanding atau bermain sepak bola.

Tapi patut kita acungi jempol untuk para pemain naturalisasi ini karena mereka telah rela meninggalkan negara asalnya demi bergabung dengan tim nasional Indonesia untuk memajukan sepak bola kita, semoga saja itu tujuan mereka. Dan mungkin cara ini memang cara terbaik yang bisa dilakukan oleh PSSI, mengingat kualitas pemain asli Indonesia yang kurang bisa bersaing dengan negara-negara lain.

Singapura adalah salah satu contoh dari negara di dunia yang sering menaturalisasi pemain sepak bolanya, tapi anehnya perkembangan sepak bola di negeri itu semakin lama semakin mundur mungkin salah satu sebabnya adalah semangat patriotisme dan nasionalisme para pemainnya kurang. Saya berharap para pengurus PSSI dan BTN memperhatikan hal itu. Hal tersebut menjadi sangat penting karena identitas nasional suatu bangsa sangat tergantung pada orang (masyarakat) yang berada di dalamnya. Untuk masalah ini lebih spesifik ke identitas nasional dalam persepakbolaan Indonesia.




Referensi:

1.       Wikipedia (2011). Sepak bola. [online]. Available fromhttp://id.wikipedia.org/wiki/Sepakbola.[ Accessed: 15 ‎Oktober ‎2011, ‏‎20:03 WIB].
2.       Idebagusku (2010). Sejarah Singkat Sepakbola Indonesia. [online]. Available fromhttp://www.idebagusku.com/sejarah-singkat-sepakbola-indonesia. ‎ [Accessed: 15 ‎Oktober ‎2011, ‏‎20:09 WIB].
3.       VIVAnews (2011). Profil Singkat 6 Kandidat Pemain Naturalisasi. [online]. Available fromhttp://bola.vivanews.com/news/read/239775-profil-singkat-6-kandidat-pemain-naturalisasi.  [Accessed  ‎15 ‎Oktober ‎2011, ‏‎21:04 WIB].
4.       Biologi Online (2010). Identitas Nasional dan Hakekat Bangsa. [online]. Available fromhttp://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/identitas-nasional-dan-hakekat-bangsa. [Accessed: 18 Oktober 2011, 21:41 WIB].
5.       Yasni, S. (2010). Citizenship: Pemahaman dan Penerapan Nilai-nilai Fundamental Bangsa dan Negara Indonesia dalam Upaya Mewujudkan Keterpaduan Ipteks dan Pembangunan secara Bertanggung Jawab. JakartaBSM